Senin, 14 Januari 2013

Gunting Bulu


Kelahiran seorang bayi dalam sebuah keluarga merupakan anugerah istimewa. Ini pertanda bertambahnya jumlah anggota keluarga. Kelahiran bayi selalu mendapat perhatian khusus dari orangtua dan keluarga. Acara-acara dan syukuran pun mewarnai penyambutannya. Di kalangan umat Muslim di Indonesia, biasanya penyambutan kelahiran bayi sekaligus sebagai ungkapan kebahagiaan keluarga yang mendapatkan anggota baru dalam keluarga tersebut, dilakukan dengan acara cukuran dan aqiqah. 
Tradisi penyambutan bayi seperti ini di Sumbawa maupun Sumbawa Barat, dikenal dengan upacara adat gunting bulu (cukuran) yang dilanjutkan dengan turin tanak (turun tanah). Kedua acara ini umumnya digabung dalam satu kesempatan bersamaan dengan aqiqah dan pemberian nama, saat usia bayi berumur tujuh hari. Tetapi, ada yang melaksanakan satu atau dua acara saja, tergantung kesiapan terutama material untuk penyelenggaraan kegiatan tersebut.
    Tradisi gunting bulu dalam masyarakat Samawa masih dilakukan hingga saat ini. “Dalam upacara adat gunting bulu, rambut anak tidak digundul atau dicukur hingga botak melainkan digunting secara simbolik saja,” ungkap H.L. Muhadli, budayawan Samawa di Taliwang, Sumbawa Barat. Di rambut anak yang akan digunting, telah diikat untaian-untaian buah bulu yang terbuat dari emas, perak, atau kuningan. Dulunya, buah bulu dibuat dari emas, sekarang lebih banyak menggunakan perak dan kuningan. “Buah bulu berbentuk daun yang terbuat dari perak dan kuningan tersebut dirangkai dengan sehelai benang,” kata Bahiyah Sandro Tamang yang sering membuat buah bulu. Tiap rangkaian berisi tiga buah bulu. Di ujung benang buah bulu tersebut, diberikan malam atau lilin yang akan digunakan untuk melengketkan buah bulu pada rambut si bayi. Umumnya, rambut bayi yang akan dipotong digantung lima rangkaian buah bulu bahkan ada juga yang lebih. 
    Tradisi ini menyerap kebiasaan yang dilakukan oleh Rasulullah dahulu secara simbolik saja. Di zaman itu, anak usia tujuh hari rambutnya dicukur hingga gundul. Lalu rambut tersebut ditimbang seluruhnya. Seberat timbangan rambut itulah berat emas dan perak yang disedekahkan kepada fakir miskin. 
    Acara inti prosesi gunting bulu ini, akan dilaksanakan oleh pemangku adat dan tokoh-tokoh masyarakat yang diteladani. Gunting bulu dilaksanakan dalam posisi berdiri. Semua undangan berdiri berjejer menyambut kedatangan si bayi. Ini sebagai bentuk penghormatan kepada si bayi, yang kelak diharapkan menjadi anak yang berguna bagi orang lain. Dalam gendongan sang ayah, bayi dibawa menuju tetua atau pemangku adat yang akan menggunting rambutnya untuk pertama kali. Disertai doa-doa akan harapan baik bagi si bayi, rambutnya pun digunting bersamaan dengan buah bulu yang telah digantung pada rambutnya. Setelah pemangku adat selesai menggunting bulu si bayi, maka akan berlanjut dengan gunting bulu yang dilakukan oleh tokoh-tokoh masyarakat, orang-orang yang dituakan dalam masyarakat setempat hingga buah bulunya habis. 
    Rambut yang digunting dengan buah bulu tersebut dimasukkan ke dalam sebuah kelapa muda berukuran kecil dan berwarna kuning yang disebut nyir gading berisi air dan bunga-bunga yang dikenal dengan kembang setaman. Ini merupakan simbolisasi bahwa tiap bagian dari manusia yang lahir itu demikian dihargai sehingga ditempatkan pada tempat yang baik (harum dengan bunga-bunga). Dari simbol bunga setaman ini, diharapkan anak tersebut kelak akan menjadi anak yang mandiri, memiliki pikiran yang jernih dan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan juga memiliki keluasan cara pandang dalam hidupnya sehingga dapat meraih kemasyhuran atas dirinya.
Sesuai dengan doa dan harapan dari orang tua si bayi dan juga masyarakat sekitarnya kelak ia mendapat tempat yang baik dalam kehidupannya karena perangai yang baik pula dalam bergaul. Kelapa muda yang dipakai sebagai wadah untuk menampung rambut tersebut, dipotong bagian atasnya seperempat bagian. Lalu sisi atas kelapa tersebut, dibentuk bergerigi di sekelilingnya yang disebut tumpal pucuk rebung. 

    Setelah berakhirnya acara gunting bulu ini, ada juga yang langsung dirangkaikan dengan acara turin tanak (turun tanah) sebagai simbol bahwa si bayi sudah harus bersatu dengan alamnya. Sebagai simbol ia menginjak bumi, biasanya tanah telah disiapkan dalam sebuah tampi (wadah untuk membersihkan beras khas Sumbawa). Kaki si bayi akan disentuhkan pada tanah tersebut. 
Upacara turun tanah ini juga biasanya diadakan saat anak berusia tiga bulan. Si anak dibawa turun ke tanah melewati tangga-tangga yang menjadi jalan naik menuju rumah panggung. Saat berada di tanah tersebut, sebuah jaring nelayan -- jala dalam istilah masyarakat Sumbawa Barat, ramang dalam istilah Sumbawa, akan dilemparkan pada si anak yang didampingi kedua orang tuanya. Maka, yang akan kena jaring tersebut adalah si anak, ayah dan ibunya. Ini merupakan simbol si anak dan keluarganya diterima dalam lingkungan dan masyarakat sosialnya. Selain itu, makna jaring ini juga adalah untuk menjaring penyakit agar si anak terhindar dari sakit yang berbahaya. 

    Dulu, dalam masyarakat tradisi Samawa, bayi-bayi tidak diperkenankan keluar rumah sebelum acara turin tanak sampai usia tiga bulan. Ia akan tetap berada di rumah dan tidak boleh keluar rumah. Tampaknya, cara tradisional ini juga sangat melindungi anak-anak karena tentu saja, selama tiga bulan itu ia akan selalu didampingi oleh ibunya yang tentu juga akan memberikan ASI padanya. Dalam masa itu, ia bisa mendapatkan ASI eksklusif.
    Bagi kaum bangsawan, dahulu, bayi-bayi yang baru lahir dari hari pertama lahir hingga berusia tujuh hari, tidak diperkenankan tidur di tempat tidur. Tidak diperkenankan bersentuhan langsung dengan perabotan yang dibuat manusia. Selama tujuh hari tujuh malam, bayi-bayi ini selalu tidur dalam gendongan atau ayunan. Orang-orang yang berada di sekitarnyalah yang akan bergantian menggendongnya selama tujuh hari tujuh malam.--nik